Banjarbaru – Jogja

Dulu sekali, sekitar tahun 2003, Jogja dengan segala kharismanya, menarik para calon intelektual dari berbagai penjuru nusantara, rasanya sama persis seperti magnet yang menarik setiap jiwa yang haus akan ilmu, atau seperti gula yang begitu manis menarik minat para semut. Ratusan menjadi ribuan, ribuan menjadi jutaan, semua terjadi hanya dalam kisaran waktu dua bulan. Jogja kedatangan tamu massal. Lagi, lagi lagi, dan lagi. Persis seperti saat ini.

Dulu sekali, sekitar tahun 2003, Jogja dalam kacamataku adalah puncak gunung es yang mesti didaki dengan penuh perjuangan. Untungnya, aku tidak sendiri, ada teman-teman seperjuangan yang memiliki mimpi sama. Di mata mereka aku dapat menemukan cahaya keyakinan. Yah.. dulu sekali, lima tahun yang lalu, entahlah, rasanya seperti baru kemarin. Banjarbaru – Jogja tidak seperti saat ini yang dengan 1,5 jam bisa seketika berpindah tempat. Banjarbaru – Jogja dulu, bagi kami yang dengan penuh keterbatasan biaya, adalah 22 jam di tengah lautan menuju Surabaya, dan 6 jam dari Surabaya menuju Jogja. Banjarbaru – Jogja saat itu tidak ada penerbangan langsung. Untuk anak-anak yang tajir, biasanya kalau tidak transit di surabaya maka transit di Jakarta baru ke Jogja.

Dulu sekali, sekitar tahun 2003 juga. Asrama Banjarbaru masih ngontrak, bangunannya masih sederhana di daerah jetis. Ikatan saat itu baru sedang merangkak, persis seperti bayi yang mulai mengenal dunia. Di masa-masa prihatin seperti itulah, mau tidak mau, semua harus saling bersinergi. Tidak ada dalam kamus kehidupan kami, mahasiswa datang ke Jogja langsung ke kos-kosan. Saat itu asrama kota/kabupaten ataupun propinsi harus menampung ‘ading-ading’. Dibalik perjuangan inilah, ternyata terdapat hikmah yang luar biasa yang mungkin sekarang sudah agak memudar, yaitu rasa kekeluargaan. Ibaratnya kita semua urang banjar di Jogja badangsanak.

Dulu sekali, masih sekitar tahun 2003 juga. Aku ga pernah kebayang kakak-kakak asrama mau ngantar OSPEK subuh-subuh, padahal kenal juga barusan di asrama, saat minta diantar daftar kuliah atau ikut tes di sana-sini, wajah merekapun penuh dengan keikhlasan, tidak terbersit enggan di wajah mereka, walaupun ada raut kelelahan disana. Saat perguruan tinggi tempat kita mendaftar meminta tanda tangan orang tua/wali, merekalah yang menandatangani, saat itulah aku menganggap kakak-kakak di asrama seperti kakak sendiri layaknya seorang saudara kandung. Kembali lagi, satu konsep penting hidup di Jogja, kita semua badangsanak.

Saat ini, tahun 2008, adalah zaman yang mau tidak mau sudah bergeser. Dulu ketika tahun 2003, pentium IV saja sudah luar biasa, sekarang kalo ga pake Intel Core Duo atau lebih sudah dianggap ketinggalan. Zamannya windows XP sudah digeser oleh Vista atau Mac-nya Apple. Pertanyaannya apakah budaya badangsanak masih bisa dipertahankan, jawabannya : Pasti Bisa!. Caranya adalah sering-sering bersilaturrahmi antar kita. Insya Allah Ikatan hati akan terbangun dengan sendirinya. Selain itu, ada PR juga yang tidak kalah beratnya bagi Asrama dan Ikatan, yaitu memperbaiki image positif.

Wallahu A’lam

 

5 Responses to “Banjarbaru – Jogja”


  1. 1 awiiieeer August 29, 2008 at 12:47 pm

    Ass…

    Alhamdulillah, akhirna tdpt jua blog yg menulis eksistensi bubuhan banjarbaru neng jugja (red).
    Salut bwt sdr Why yg sdh berbuat lebih … mdh2an keilmuanNya slalu dilebihkan Allah, Jd kw memberikan manfaat bwt smua yg ad dSekitarnya… amiiin (,”) hehehe

    Skali lg, thanks Yu.

    Wass…

  2. 2 Yosa September 1, 2008 at 3:31 pm

    Silakan timba ilmu, serap pengalaman, ambil pelajaran, bekali diri di luar kampung halaman untuk kembali ke banua…membangun banua…biar bagaimanapun…kita semua tetaplah putra kal-sel khususnya banjarbaru. Sangat disayangkan jika putra-putri terbaiknya malah tidak kembali setelah menempa diri di kampung halam orang…malah membangun banua orang yang sudah lebih maju dibanding tanah kelahiran, kota masa kecil, tempat hidup yang penuh kenangan. Jangan sia-siakan kesempatan yang telah diberikan. HARAM MANYARAH WAJA SAMPAI KAPUTING.

  3. 3 Mr. Change September 2, 2008 at 1:00 am

    Boleh lah Apa yang sudah dibuat tapi kalo boleh ….usul isi na lebih detail lgi salah satu na tentang kepengurusan dari awal hingga sekarang biar sejarah tetap tersimpan dengan baik, okeeeeeeee….

    bangsa yang Besar adalah bangsa yang tidak pernah Lupa akan sejarah

    oke bro. sukses Bravo IPMABA

  4. 4 wahyuridhoni September 2, 2008 at 3:18 am

    >> awiiieeer : Wuih, the first comment, Alhamdulillah responnya positif, julak awier amun pian kada keberatan, pian jua – sebagai yang lebih berpengalaman berkecimpung di IPMABA dan PMKS – sangat diharapkan kawa jadi kontributor di blog ini. Supaya tambah rame. Kayapa? Hakun kalo? Kena ulun bari passwordnya. Mmm, Pengurus yang wayah ini jua sangat diharapkan. Friendster yang kita ulah bedua dulu masih awier kah yang mengelola, amun kawa, ading-ading asrama juga dilibatkan.

    >> Yosa : ni yosa kawan bahari di SMUNSA kah? Kayapa habar. Seep, amun ulun pribadi insya Allah bulik ke Banua, atmosfernya susah dicari ditempat lain (Dan oleh karena itu, ke depan blog ini juga mesti harus beralih tangan ke ading-ading hanyar, OK), Mudah2an banua jua kawa menerima kami yang merantau ini dengan tangan terbuka, terbuka terhadap perubahan, he… memang perubahan tidak selamanya membawa kebaikan, tapi untuk lebih baik tidak ada jalan lain selain dari perubahan, bujur kada?

    >> Mr. Change : Thanx buat masukannya. Walaupun umumnya kita menganggap pelajaran sejarah kadang ngebosenin. Ulun sepakat banar. Sejarah adalah cermin, tempat berkaca untuk tidak mengulang kesalahan yang sama, makanya bisa menjadi bangsa yang besar. Blog ini, pelan tapi pasti, dengan support semua akan menjadi besar. Dan Mudah2an siklus kehidupan (lahir – tumbuh – dewasa – tua – mati) tidak terjadi pada blog ini ataupun pada IPMABA. Insya Allah, Amin

  5. 5 Hera January 14, 2009 at 6:10 pm

    Huiy,huiy,

    mampiir.. 🙂


Leave a comment