IA PERGI UNTUK MEMENUHI JANJINYA

Pengantar :
Sepekan ini, entah mengapa, saya selalu dibayangi tentang kematian (semoga ini bukan firasat!). Boleh jadi karena saya memang sudah mulai tua, letih, dan berdebu, atau mungkin tersebab sepekan yang lalu saya membongkar puluhan lukisan karya almarhum Drs. Ifansyah, M.Sn ( seorang maestro pelukis realis) yang dititiipkan pada saya. Pelukis perfeksionis lulusan ISI Yogya ini meninggal di Yogyakarta pada 10 Januari 2004 (3 hari menjelang kami membuka pameran lukisannya) dalam usia 46 tahun. Alhamdulillah saya dapat mengantarnya hingga ke liang lahat, di tanah kelahirannya, Barabai, Kalimantan Selatan. Tulisan dibawah ini adalah kata pengantar saya pada buku memoar dalam “Pameran Lukisan Mengenang 1 Tahun M.Ifansyah”, di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Januari 2005.

IA PERGI UNTUK MEMENUHI JANJINYA

Oleh: Mahyudin Al Mudra

Nyamperin matahari
Dari satu sisi
Memandang insan
Dari segenap jurusan

Puisi di atas adalah karya W.S. Rendra yang khusus dibuat untuk saya, saat ia berkunjung ke kantor saya beberapa saat yang lalu. Mas Willy agak terkejut ketika saya meminta untuk menuliskannya bukan di atas kertas, melainkan di atas kain kafan milik saya. Semula ia mengira kain putih tersebut adalah kain kanvas. Tetapi ketika saya menyodorkan lembaran kain putih panjang tersebut, dan menyadari bahwa kain tersebut adalah kain kafan, dengan dahi berkerut dia berpikir sejenak, lalu mulai menulis dengan khusuk.

Kain kafan? Ya, pembungkus jenazah itu mulai saya persiapkan sepulang dari mengantar jenazah almarhum M. Ifansyah yang dimakamkan di Barabai, Kalimantan Selatan, tanah kelahirannya, pada tanggal 11 Januari 2004. Saya memang agak terpukul dengan kepergiannya yang begitu tiba-tiba, tanpa tanda dan firasat apa pun. Kematian Ifansyah, Pak Wid NS., serta seorang perupa lain, sahabat-sahabat saya, justru di saat mereka sedang mempersiapkan pameran bersama saya, bagi saya adalah “silabus” yang sangat gamblang tentang kematian yang adanya begitu niscaya, sesuai janji dengan Al Khalik, Sang Pengatur, namun yang tidak pernah kita ketahui pabila datangnya. Kematian adalah pemenuhan janji kepada Sang Pencipta, sebagai konsekuensi dari kehidupan yang telah diberikan.

Meskipun pergaulan saya dengan almarhum belum begitu lama sebagaimana sahabat almarhum lainnya, namun diskusi-diskusi kami beberapa bulan terakhir sangatlah intens. Bersama Drs. Sujatmiko, seorang sahabatnya yang juga perupa, kami mempersiapkan berbagai hal tentang pameran lukisan, tentang rencana bersama untuk menyusun Kamus Bahasa Banjar-Indonesia, bahkan juga rencana menerbitkan Buku Panduan Melukis yang diajarkan kepada siswa sejak Sekolah Dasar, serta mengumpulkan lagu-lagu daerah. Kami juga merencanakan untuk menyusun dan menerbitkan direktori yang memuat (terutama) para perupa pemula yang belum memperoleh kesempatan liputan media, agar lebih dikenal publik.

Ifansyah juga berjanji untuk mendirikan Padepokan Seni Lukis, yang mengajarkan bagaimana memahami dan membuat sebuah lukisan yang mempunyai karakter kuat, tanpa harus menjadi dan berkiblat kepada perupa lain. Kepada saya ia juga berjanji akan membuatkan sebuah lukisan realis Pasar Terapung di Banjarmasin. “Hadangi haja, kaina kuulahakan lukisan nang harat,” ujarnya suatu ketika. Kepada saya yang “fakir seni” ini, yang selalu hanya mendapat ponten enam untuk pelajaran menggambar di sekolah, ia juga berjanji –kalau ada waktu– akan mengajarkan bagaimana melukis dengan benar. “Bakat itu memang penting,” katanya saat itu, “tapi lebih penting lagi ketekunan berlatih terus-menerus”. Entah benar entah tidak cerita tentang para maestro dunia yang semula tidak berbakat melukis itu, tapi saya haqqul yakin itu semua hanya untuk menghibur saya yang hanya bisa menggambar pemandangan dengan pepohonan di bagian atas bidang, sawah di bagian tengah serta jalan di bagian bawah, dengan menarik garis maya silang dari setiap sudutnya. Meskipun demikian, saya cukup terhibur dengan janjinya. Jika tidak bisa melukis pun, paling tidak saya bisa ‘membaca’ dan membedakan mana lukisan realis dan mana lukisan impresionis; tahu apa yang disebut aliran abstrak ataupun kubisme. Paling tidak, saya akan mendengar nama Rembrandt, Monet, atau Renoir. Juga, A. Sadali, Tulus Warsito, Mozes Misdy, atau Basuki Abdullah. Pasti kelak saya akan tahu bahwa Syaiful Adnan bukanlah pengusaha rumah makan Padang, meskipun ‘tulisannya’ ada di banyak rumah makan Padang dalam bentuk logo atau lainnya, melainkan seorang kaligrafer besar yang banyak dibicarakan khalayak karena aliran “syaifulli”-nya.

Ternyata Ifansyah tidak pernah memenuhi janjinya. Ia juga tidak menepati janji untuk bersama saya memotret para pedagang di Pasar Terapung Banjarmasin. Padahal saya sudah belajar dasar-dasar fotografi. Padahal pemotretan itu sangat diperlukan, karena saya ingin mengganti sayur yang dijajakan pedagang di atas sampan itu dengan tumpukan buku-buku. Ya, betul…! berjualan buku di atas jukung di Sungai Barito! Bukankah itu sebuah lukisan yang harat (hebat), penuh kejutan, dan sarat message? Bahkan Ifansyah juga tidak memenuhi janjinya untuk rapat di rumah saya pada hari Minggu malam, 11 Januari 2004. Padahal pertemuan itu begitu penting, justru untuk membahas secara detil pameran lukisannya agar bisa dilaksanakan dengan baik, mengingat almarhum jarang menggelar pameran sebagaimana perupa lainnya (menurut para sahabatnya, lukisan Ifansyah langsung terjual begitu selesai, bahkan sudah dibeli sebelum dibuat). Ia pergi begitu saja pada hari Sabtu siang tanggal 10 Januari 2004, dalam kesunyian dan kesendiriannya, tanpa pesan apa-apa, tanpa tanda apa-apa. Atau –lebih tepatnya– mata hati saya yang tidak bisa membaca “pesan” dan “tanda” yang disampaikannya saat itu?

Kini Ifansyah telah pergi meninggalkan dunia yang ingar-bingar, menemui Khaliknya yang selama ini dirindukannya. Hilang sudah tabir yang membatasi dialognya dengan Allah Azza wa Jalla. Ifansyah yang begitu lembut dalam kesehariannya, kini menghadap Yang Mahalembut (Ya Lathiifu). Ifansyah yang selama ini dikenal sabar, kini hidup tenang di samping Yang Mahasabar (Ya Shabuur). Ifansyah yang suka memaafkan, kini hidup damai dalam rengkuhan Yang Maha Pemaaf (Ya Haliim). Ia yang setiap saat tak pernah berhenti berkarya dan mencipta, sekarang berada dalam dan bersama Yang Maha Pencipta (Ya Badiiu). Alangkah indahnya melukis bersama Yang Maha Indah (Ya Jamiil) dan Maha Pelukis (Ya Mushowwiru). Subhannallah… alangkah hangat dan indahnya kematian! Keindahan yang tak terpemanai.

Banyak janjinya yang belum ia tunaikan kepada saya. Mungkin juga kepada para kolektor dan “konsumen” lain. Ia lebih memilih menghadap Sang Pencipta untuk memenuhi janji ruhnya saat melakukan “kontrak kehidupan” dengan Yang Maha Menghidupi (Ya Muhyi) ketika ia masih berupa ‘mudghoh’ di dalam kandungan ibunya.

Sekarang saya gagal memiliki lukisan Ifansyah yang sudah saya idamkan selama lebih dari 20 tahun sejak saya masih kuliah. Saya harus puas cukup dengan mengoleksi dua buah gambar lukisan almarhum yang saya “repro” dari sobekan kalender sebuah bank negara yang tahu menghargai karya agung seorang seniman akbar. Mengertilah saya sekarang, janji almarhum yang akan membuatkan lukisan harat “KALAU ADA WAKTU” itu, sebenarnya adalah tanda, isyarat, iktibar, pelajaran penting kepada saya, bahwa sebenarnya kita “tidak punya waktu” atau lebih tepatnya, tidak punya cukup waktu dalam kehidupan ini. Kita bukanlah pemilik waktu. Sesungguhnya hidup kita ini bukanlah arrival, melainkan departure untuk menuju destination yang hakiki menuju Yang Mahakekal (Ya Baaqi) untuk menjalani kehidupan lain yang lebih abadi.

Ifansyah telah pergi. Tidak akan ada Pasar Terapung yang menjajakan buku di Kuin, Banjarmasin. Tidak ada padepokan seni yang menjadi mimpi kami bersama, karena padepokan itu telah kami bangun di dalam hati kami. Ia tidak jadi mengajar saya melukis di atas kanvas. Tetapi dengan “pesan” dan “tanda” yang ditinggalkannya, Ifansyah memberikan pelajaran pada saya tentang “lukisan kehidupan”. Hidup ini, sebagaimana sebuah lukisan, bukanlah sebuah kanvas putih yang bersih tanpa coretan. Kanvas itu baru bernilai dan bermakna, (dan disebut lukisan!) ketika ia “dikotori” dengan berbagai sapuan, coretan, cipratan, bahkan tumpahan cat aneka warna, dengan proporsi dan komposisi yang terkadang sulit dipahami. Tidak lagi menjadi terlalu penting, apa pun aliran (mazhab) perupanya. Melukis adalah kehidupan itu sendiri. Menjalani kehidupan, sebagaimana aktivitas melukis, adalah “mewarnai dan memenuhi” kanvas dunia, sehingga semua aktivitas itu menjadi rahmatan lil alamiin, hamemayu hayuning bawana, enlightenment, aufklaruung, sebuah pencerahan bagi alam dan seisinya.

Selamat melukis, sahabat. Engkau memang tidak jadi mengajarku melukis. Kemarin kusangka engkau mengingkari janjimu. Maafkan aku, karena kemarin aku menilaimu hanya dari satu sisi. Padahal, seperti kata Mas Rendra, memandang insan, dari segenap jurusan.

(inna lillahi wa inna ilaihi roji’uun)


(WS Rendra menuliskan puisi di kain kafanku yang telah kupersiapkan agar tidak merepotkan keluargaku… “Nyamperin Matahari Dari Satu Sisi…Memandang Insan Dari Segenap Jurusan…”)


(Lukisan alm Ifansyah (90×180 cm) dengan judul “Pasar Beringharjo” belum diwarnai dan ditandatangani.)

Lukisan almarhum M.Ifansyah yang sudah diwarnai, tapi belum selesai tuntas serta belum ditandatangani
(Lukisan almarhum M.Ifansyah yang sudah diwarnai, tapi belum selesai tuntas serta belum ditandatangani)

8 Responses to “IA PERGI UNTUK MEMENUHI JANJINYA”


  1. 1 amksphmalang May 14, 2009 at 5:46 am

    salam kenal…, tetap semangat

  2. 6 hajriansyah November 28, 2009 at 1:06 am

    allahummaghfirlahu (ifansyah) warhamhu wa afihi wa’ fu anhu…

  3. 7 ical May 10, 2011 at 9:16 pm

    Angkat topi buat beliau..


Leave a comment